BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak
kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah berganti-ganti konstitusi,
mulai dari UUD 1945, konstitusi Republik
Indonesia Serikat 1949, UUD Sementara Tahun 1950, kembali ke UUD
1945 melalui Dekrit
Presiden
tanggal 5 Juli 1959 sampai perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun
1999-2002. Dan sejak kemerdekaan
17 Agustus 1945 sampai sekarang telah terjadi pasang surut dalam kekuasaan
Presiden Republik Indonesia.
Pada awal kemerdekaan, berdasarkan ketentuan Pasal IV
aturan peralihan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar
karena memegang kekuasaan pemerintah dalam arti luas. Ketika itu dalam
menjalankan kekuasaannya presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Pada masa berlakunya Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950,
sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlementer. Sehingga menetapkan
presiden hanya sebagai kepala negara, tidak lagi sebagai kepala pemerintahan.
Ini artinya kekuasaan berkurang kembali.
Kemudian ketika Undang-Undang Dasar
1945 berlaku kembali, presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan sehingga memberikan kesempatan yang besar untuk menjalankan
kekuasaannya.
B.
Rumusan Masalah :
1.
Bagaimanakah
kekuasaan Presiden RI sebelum perubahan UUD 1945 ?
2.
Kekuasaan
apa yang dimiliki presiden menurut UUD 1945 ?
3.
Kekuasaan
apa yang dimiliki presiden menurut Konstitusi RIS 1949 ?
4.
Kekuasaan apa yang dimiliki presiden RI menurut UUD
Sementara 1950 ?
5.
Bagaimana
kekuasaan yang dimiliki presiden setelah berlaku kembali UUD 1945
melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ?
6.
Bagaimanakah
kekuasaan Presiden RI sesudah perubahan UUD 1945 ?
C. Tujuan
:
1.
Mengetahui
kekuasaan Presiden RI sebelum perubahan UUD 1945.
2.
Mengetahui
kekuasaan Presiden RI menurut UUD 1945.
3.
Mengetahui
kekuasaan Presiden RI menurut Konstitusi RIS 1949.
4.
Mengetahui
kekuasaan Presiden RI menurut UUD Sementara 1950.
5.
Mengetahui
kekuasaan Presiden RI setelah berlaku kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden
5 Juli 1959.
6.
Mengetahui
kekuasaan Presiden RI sesudah perubahan UUD 1945.
D. Metode
Penulisan
Makalah ini menggunakan metode kepustakaan, yakni bahan dari beberapa buku dan untuk melengkapi bahan yang sudah ada dengan melalui internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEKUASAAN
PRESIDEN RI SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
Sebelum perubahan UUD RI 1945 pada tahun 1999-2002,
Republik Indonesia pernah berganti konstitusi
mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali lagi
ke UUD 1945 melalui dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Perubahan
tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan
presiden.
1. Kekuasaan
Presiden Menurut UUD 1945
Undang-undang Dasar 1945 menempatkan kedudukan
Presiden pada posisi yang sangat penting dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia. Itu terlihat dengan dimilikinya dua fungsi penting oleh presiden ,
yaitu fungsi sebagai kepala Negara dan fungsi sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan
presiden antara lain sebagai berikut :
a.
Kekuasaan
di Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 4 ayat 1 jelas mengatakan, “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.” Makna
dari pasal itu yakni, presiden adalah satu-satunya orang yang memimpin seluruh
pemerintahan.
b.
Kekuasaan di Bidang
Legislatif
UUD 1945 memberikan kekuasaan legislatif kepada presiden lebih besar
daripada DPR. Selain mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang
bersama DPR, dalam kondisi kegentingan yang memaksa presiden juga mempunyai
kekuasaan membentuk peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
(Perpu), serta berhak menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang.
c.
Kekuasaan di Bidang
Yudisial
Presiden, menurut UUD 1945, juga
mempunyai beberapa kekuasaan yudisial, yaitu: pertama, kekuasaan memberi grasi
kepada orang yang dihukum. Kedua, presiden mempunyai kekuasaan untuk memberikan
abolisi. Ketiga, presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan amnesti.
Keempat, presiden mempunyai kekuasaan untuk melakukan rehabilitasi kepada
seseorang yang haknya telah hilang akibat putusan pengadilan.
d. Kekuasaan di Bidang Militer
“Presiden memegang kekuasaan
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Menurut bunyi pasal 10 UUD 1945, presiden
adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Selain itu, presiden, dengan
persetujuan DPR, mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang dan membuat
perdamaian dengan negara lain.
e.
Kekuasaan Hubungan Luar
Negeri
Kekuasaan mengenai hubungan luar
negeri yang sering disebut sebagai kekuasaan diplomatik berupa kekuasaan untuk
membuat perjanjian dengan negara lain. UUD 1945 Pasal 11 mengatur mengenai
kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain. Dalam
hal membuat perjanjian, pasal tersebut juga mewajibkan kepada presiden untuk
meminta persetujuan DPR.
f.
Kekuasaan Darurat
Menurut UUD
1945 Pasal 12
yang mengatakan: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat keadaan
bahaya diterapkan dengan undang-undang.” Undang-undang yang dimaksud adalah
Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam sejarahnya, kekuasaan darurat
ini pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno, yaitu: pertama, ketika
Perdana Menteri Syahrir diculik. Kedua, ketika suasana politik yang
memanas akibat perundingan dengan Belanda menemui jalan buntu. Ketiga,
ketika terjadi perebutan kekuasaan di Madiun.
g.
Kekuasaan Mengangkat atau
Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Secara eksplisit UUD 1945 hanya mencantumkan beberapa pejabat tinggi negara
yang harus diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Antara lain adalah; menteri-menteri, duta dan konsul. Namun,
karena presiden mempunyai kewenangan membentuk undang-undang dengan persetujuan
DPR, dan mempunyai kekuasaan untuk membentuk peraturan pemerintah, maka hampir
semua pejabat tinggi diangkat oleh presiden, seperti: hakim-hakim agung, jaksa
agung, ketua badan pemeriksa keuangan, dan lain-lain.
2.
Kekuasaan
Presiden Menurut Konstitusi RIS 1949
Berbeda
dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan, dalam UUD RIS 1945 kedudukan presiden hanya
sebagai kepala negara. Sementara kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kabinet
yang dikepalai oleh perdana menteri. Namun
secara formal, presiden juga adalah pemerintah. Karena sifatnya Cuma
formalitas, maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada menteri-menteri.
Semua keputusan atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan
atau peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh
menteri.
Dari ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam Bab III tentang
“Perlengkapan Republik Indonesia Serikat” konstitusi RIS 1949, kekuasaan
presiden antara lain sebagai berikut :
a.
Kekuasaan
Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Meskipun dalam setiap pengambilan keputusan
pemerintahan presiden harus bergantung dengan kabinet, namun secara formal
presiden adalah kepala pemerintahan,sehingga segala keputusan pemerintah adalah
sama dengan keputusan presiden.
b.
Kekuasaan
di Bidang Legislasi
“Peraturan-peraturan menjalankan undang-undang
ditetapkan oleh pemerintah namanya ialah peraturan pemerintah.” Undang-undang
Federal dan Peraturan pemerintah itu dilakukan dengan keputusan presiden. Semua
peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan oleh menteri bersangkutan.
c.
Kekuasaan
di Bidang Yudisial
Seperti halnya dalam UUD 1945, menurut Konstitusi RIS
1949 presiden mempunyai hak memberi ampunan dan keringanan hukuman atas hukuman
yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Tetapi kalau amnesti, hanya bisa
diberikan jika presiden sudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung. Sedangkan
abolisi, diatur dalam Pasal 160 Konstitusi RIS 1949.
d.
Kekuasaan
di Bidang Militer
Kekuasaan atas angkatan bersenjata secara tegas
dicantumkan dalam Pasal 182 Konstitusi RIS 1949.
3. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar
Sementara 1950
Serupa
dengan UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950 juga secara tegas menyatakan dalam Pasal 45 Ayat (1) “Presiden
ialah Kepala Negara.” Karena kedudukan presiden adalah sebagai kepala negara,
maka presiden tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban , sementara yang harus bertanggungjawab
adalah para menteri baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Persoalan kemudian muncul ketika UUD
Sementara 1950 tidak secara tegas dalam satu pasal pun yang menyatakan apakah
presiden merupakan bagian dari pemerintah bersama-sama para menteri, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 60 UUD RIS.
Keadaan
seperti inilah yang kemudian menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan.
Presiden Soekarno menganggap keadaan seperti ini menimbulkan “dualisme” dalam
kepemimpinan bangsa di mana pimpinan revolusi dipisahkan dari pimpinan
pemerintahan. Pimpinan revolusi justru dilumpuhkan oleh pimpinan pemerintahan
dan hanya dijadikan “tukang stempel”.
Menurut
Ismail Suny, Presiden adalah bagian dari suatu “dwi-tunggal” Pemerintah
Republik Indonesia. Sedangkan para menteri merupakan bagian yang lain. Pendapat
ini didasarkan pada penafsiran sistematis penempatan ketentuan mengenai
presiden dan menteri-menteri yang ditempatkan secara bersama-sama pada Bagian I
dari Bab II dengan kepala; “Pemerintah.” Kemudian apabila dihubungkan Bagian I
dari Bab II ini dengan Bagian I dari Bab III terutama Pasal 83, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa peniadaan Pasal 68 UUD RIS 1949 dalam UUD Sementara
1950, hanyalah dimaksudkan untuk tidak perlu menjelaskan hal yang sudah
dianggap sudah cukup terang.
Dalam
hal adanya ketentuan dalam Pasal 85, segala keputusan presiden ditandatangani oleh menteri-menteri
yang bersangkutan adalah dimaksudkan bahwa menteri-menteri yang tersebut setuju
dengan keputusan itu. Persetujuan itu sangat penting karena Pasal 83 UUD
Sementara 1950 menyatakan bahwa menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan presiden dan wakil presiden tidak dapat
diganggu-gugat (tak
bertanggung jawab).
Oleh
karena itu, maksud dari Pasal 83 tersebut adalah untuk memberikan kepada
menteri-menteri dan parlemen tempat menteri-menteri bertanggung jawab pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, sementara
kekuasaan yang dipegang oleh presiden hanya apa yang secara tegas dinyatakan
oleh beberapa pasal yang tertera di dalam UUD Sementara 1950.
a.
Kekuasaan
Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Undang-undang Dasar Sementara 1950
secara tegas memberikan kekuasaan kepada presiden untuk mengangkat wakil
presiden, perdana menteri, menteri-menteri,dan pejabat-pejabat lainnya.
Presiden juga memiliki kekuasaan untuk mengesahkan pemilihan ketua dan
wakil-wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Kekuasaan di Bidang Legislasi
Presiden memiliki kekuasaan untk
mengambil inisiatif dalam perundang-undangan dan menyampaikan rancangan
Undang-undang ke DPR dengan amanat presiden. Selain itu, presiden juga
berwenang untuk membubarkan DPR, jika lembaga tinggi tersebut tidak mewakili
kehendak rakyat.
c. Kekuasaan di Bidang Yudisial
UUD Sementara 1950, memberikan
kekuasaan kepada presiden untuk memberikan grasi kepada seseorang yang dijatuhi
hukuman. Sedangkan kekuasaan abolisi dan amnesti , tidak diberikan oleh UUD
Sementara 1950 kepada presiden melainkan melalui UU setelah meminta nasihat
dari Mahkamah Agung.
d. Kekuasaan di Bidang Militer
Pasal 85 UUD Sementara 1950 secara
tegas mengatakan bahwa presiden memegang kekuasaan atas angkatan perang. Namun,
dalam UUD Sementara 1950 tidak disebutkan secara jelas mengenai penyebutan
jabatan presiden selaku pemegang kekuasaan atas angkatan perang. Pasal 127 ayat
1 UUD Sementara hanya menyebutkan “Presiden ialah Panglima Tertinggi tentara
atas Angkatan Perang Republik Indonesia”. Pada UUD Sementara 1950 secara tegas
menyatakan bahwa presiden dengan cara dan dalam bentuk hal-hal yang akan
ditentukan dengan undang-undang, dapat menyatakan daerah Republik Indonesia
atau bagian-bagian daripadanya dalam keadaan bahaya, bila presiden menganggap
itu perlu untuk kepentingan keamanan dalam negeri dan keamanan luar negeri.
e. Kekuasaan di Bidang Hubungan Luar Negeri
UUD Sementara 1950 secara tegas
menyatakan bahwa presiden mempunyai kekuasaan untuk mengadakan dan mengesahkan
perjanjian (traktat) dan persetujuan dengan negara lain. Perjanjian tersebut
tidak sah jika belum disetujui dengan undang-undang. Presiden juga mempunyai
kekuasaan untuk menunjuk wakil-wakil diplomatik dan konsuler di negara-negara
asing.
4.
Berlakunya
Kembali UUD 1945 Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Secara normatif, tidak ada satu
perubahan pasal pun dalam UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 1959. Dekrit hanyalah
sebuah instrument yang digunakan oleh. Presiden Soekarno dalam memberlakukan
kembali UUD 1945 setelah Konstituante hasil pemilu tidak berhasil merumuskan
suatu UUD yang baru.
Pasca pemberlakuan kembali UUD 1945
dikenal dengan era “Demokrasi Terpimpin”. Sebutan ini dimunculkan oleh Kabinet
Djuanda pada tanggal 19 Februari 1959 yang mengambil keputusan secara bulat
mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945.
Demokrasi Terpimpin menurut Djuanda sebagaimana telah dimaksudkan dalam
Pembukaan UUD 1945, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan.” Menurut Djuanda, demokrasi terpimpin bukanlah
diktator, berbeda pula dengan demokrasi sentralisasi, dan berbeda pula dengan
demokrasi liberal. Tetapi pada kenyataannya di lapangan tidak sesuai dengan
pernyataan Djuanda itu. Itu terlihat adanya pemusatan kekuasaan pada presiden.
Pemusatan kekuasaan tersebut bisa dilihat pada Kabinet Kerja III.
Pertama, Presiden membentuk dewan
nasional dengan tugas membantu pemerintah. Dewan nasional merupakan sebuah
badan untuk menghimpun kekuasaan-kekuasaan ekstraparlemen. Kedua, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan dan kemudian atas
dasar Penetapan Presiden No.4 tahun 1960,presiden membentuk Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR). Ketiga, Ketua dan Wakil ketua DPR-GR, Ketua dan
Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS), Wakil ketua Dewan
Pertimbangan Agung dan Ketua Dewan Perancang Nasional diberi kedudukan sebagai
Wakil Menteri Pertama dan Menteri. Itu artinya, kedudukan 4 lembaga negara
tersebut berada dibawah presiden.
Pada Demokrasi Terpimpin ini sering
terjadi pergantian kabinet, mulai dari Kabinet III berubah menjadi Kabinet IV,
lalu berganti kembali menjadi kabinet Dwikora hingga pada puncaknya terjadi
peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI atau yang lebih dikenal dengan
G30-S/PKI pada tanggal 30 September 1965. Pada peristiwa itu pula , gugur lah 7
orang Jenderal dari ABRI.
Setelah peristiwa itu,Presiden
Soekarno dihadapkan pada situasi politik yang sangat sulit. Presiden menerima
tuntutan dari rakyat atau yang dikenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Isinya menuntut presiden membubarkan PKI,membersihkan Kabinet dari pengaruh PKI
dan menurunkan harga barang. Atas desakan massa, akhirnya tuntutan untuk
pembersihan Kabinet Dwikora dikabulkan.
Kemudian Kabinet Dwikora dirombak
menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan atau yang lebih dikenal dengan
Kabinet Seratus Menteri. Tetapi Kabinet tersebut tidak bisa mengatasi situasi
poltik yang memanas pada waktu itu. Di dalam kabinet tersebut diduga masih
terdapat beberapa menteri dari PKI, sehingga terjadi unjuk rasa besar-besaran
yang dipimpin oleh “Angkatan 66” pada saat pelantikan kabinet tersebut.
Kemudian pada tanggal 11 Maret 1966,
sesuai dengan sidang Kabinet 100 menteri, Mayjen Basuki Rachmad, Brigjen. M.
Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud menghadap Letjen Soeharto selaku
Menteri/Panglima Angkatan Darat, untuk meminta izin menghadap kepada Presiden
Soekarno di Istana Bogor. Dari Bogor ketiga jenderal ini membawa surat perintah
dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Letjen Soeharto. Surat perintah
ini dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Isi surat tersebut
adalah mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan atas
nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi.
Pada masa Kabinet Ampera, posisi
Presiden Soekarno, sama sekali tidak ada artinya. Presiden tidak memliki lagi bargaining position dalam percaturan
politik . Indikator lemahnya posisi Presiden Soekarno pada tanggal 10 Januari,
12 hari sebelum menyerahkan kekuasaan sepenuhnya ke tangan Soeharto. Politik
Berdikari dengan semboyan go to hell with
your aids runtuh bersamaan dengan jatuhnya supremasi kekuasaan eksekutif
Presiden Soekarno.
Dalam Sidang Istimewa MPRS 1967,
Presiden Soekarno diberhentikan dan Soeharto diangkat menjadi presiden.
Soeharto pun pada tanggal 11 Oktober 1967 dengan nama Kabinet Ampera yang
Disempurnakan. Dari sini baik secara yuridis maupun secara politik, Soeharto
resmi memegang tampuk kekuasaan lembaga kepresidenan.
B.
KEKUASAAN
PRESIDEN RI SETELAH PERUBAHAN UUD 1945
Undang-undang Dasar 1945 sebelum
perubahan memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden RI pada waktu itu.
Besarnya kekuasaan tersebut dalam praktiknya ternyata disalahgunakan sehingga
memunculkan pemerintahan yang otoriter, sentralistis, tertutup dan penuh KKN
(korupsi. kolusi dan nepotisme), baik pada masa Presiden Soekarno maupun pada
masa Presiden Soeharto. Tuntutan dari berbagai elemen masyarakat diproses oleh
MPR pada sidang istimewa pada tahun 1998. MPR mengeluarkan tiga Ketetapan MPR, yakni
; Pertama, Ketetapan MPR No.VIII/MPR/1998 tentang pencabutan Ketetapan MPR
No.IV/MPR/1983 tentang referendum. Kedua, Ketetapan MPR No.XIII/MPR/1998
tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. Ketiga,
Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Setelah terbitnya ketiga Ketetapan
MPR tersebut. Kehendak dan kesepakatan untuk melakukan perubahan UUD 1945 makin
mengkristal di kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik, termasuk partai
politik. Akhirnya MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat
kali.
1.
Kekuasaan
Penyelenggaraan Pemerintahan
“Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.” Demikianlah bunyi
pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang menjadi dasar presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan dan pasal tersebut tidak mengalami perubahan.
2.
Kekuasaan
di Bidang Peraturan Perundang-undangan
a. Kekuasaan Mengajukan RUU, dan Membahasnya Bersama
DPR
Berdasarkan Pasal 5 UUD 1945 sebelum
perubahan, presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun setelah perubahan, kekuasaan
membentuk udang-undang dipegang oleh DPR. Sesuai dengan pasal 20 ayat 1 UUD
1945 setelah perubahan. Secara tegas, “ Dewan Perwakilan Rakyat membentuk
undang-undang.” Meskipun begitu, presiden tetap mempunyai hak untuk mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Kekuasaan Membentuk Peraturan
Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-undang (Perpu)
Ketentuan Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945
tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut berbunyi, “Dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang.” Syarat pokok yang harus dipenuhi oleh seorang
presiden ketika akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) tersebut adalah unsur, “kegentingan yang memaksa.” Tidak ada penjelasan
resmi yang berkaitan dengan unsur “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
tersebut.
c. Kekuasaan Menetapkan Peraturan Pemerintah
“Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.” Itu menurut
Pasal 5 Ayat 2 UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali.
Peraturan pemerintah (PP) dapat
dibuat berdasarkan perintah tegas dari undang-undang (delegasi) atau
berdasarkan pertimbangan presiden untuk melaksanakan suatu undang-undang.
3.
Kekuasaan
Di Bidang Yudisial
Menurut ketentuan Pasal 14 UUD 1945
sebelum perubahan, presiden mempunyai
kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Namun
setelah perubahan UUD 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami
perubahan yaitu ; dalam hal memberikan grasi dan amnesti , Presiden
memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal memberi amnesti, dan abolisi,
presiden memerhatikan pertimbangan DPR.
4.
Kekuasaan
dalam Hubungan dengan Luar Negeri
Menurut Bagir Manan, hubungan dengan
luar negeri adalah masuk dalam kekuasaan asli eksekutif (original power of executive). Hanya eksekutif yang mempunyai
kekuasaan untuk melakukan setiap bentuk atau inisiatif hubungan luar negeri.
Meskipun inisiatif dan keputusan tetap pada eksekutif, namun dalam
perkembangannya dalam hal-hal tertentu suatu hubungan luar negeri wajib
mengikutsertkan badan perwakilan.
Dalam UUD 1945, baik sebelum maupun
sesudah perubahan, menetapkan beberapa jenis hubungan luar negeri, yaitu ;
mengadakan perjanjian dengan negara lain, menyatakan perang dengan negara lain,
mengadakan perdamaian dengan negara lain, mengangkat duta dan konsul untuk
negara lain dan menerima duta dan konsul negara lain.
a.
Kekuasaan
Mengadakan Perjanjian dengan Negara Lain
Ada sedikit perubahan dalam
ketentuan Pasal 11 UUD 1945 yang mengatur mengenai perjanjian internasional.
Perubahan tersebut berupa penambahan dua ayat pada pasal tersebut. Ayat 1,
isinya sama dengan bunyi Pasal 11 Ayat 1 sebelum perubahan. Ayat 2 berbunyi,
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dan Ayat 3
berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.”
b. Kekuasaan Menyatakan Perang dengan Negara
Lain
Presiden sesuai dengan ketentuan
yang terdapat di dalam Pasal 11 UUD 1945, baik sebelum dan sesudah perubahan
mempunyai kewenangan menyatakan perang dengan negara lain. Pasal 11 UUD 1945
yang berkaitan dengan pengaturan perang dengan negara lain, tidak mengalami
perubahan secara signifikan dari dahulu hingga sampai sekarang, presiden tetap
memerlukan persetujuan DPR.
Sesuatu yang wajar jika perang
memerlukan persetujuan DPR, karena membawa konsekuensi yang sangat besar bagi
kehidupan bangsa dan negara.
c. Kekuasaan Mengadakan Perdamaian
dengan Negara Lain
Sesuai Pasal 11 UUD 1945, presiden
mempunyai kekuasaan untuk membuat perdamaian dengan negara lain. Perjanjian
perdamaian dalam rangka mengakhiri secara de
jure peperangan atau permusuhan , tidak hanya sebatas pada penghentian
permusuhan, tetapi mencakup juga hal-hal lain seperti soal tawanan, ganti rugi
akibat peperangan dan lain-lain. Dalam hal ini, presiden wajib meminta
persetujuan DPR.
d.
Kekuasaan
Mengangkat dan Menerima Duta dan Konsul
Pasal 13 UUD 1945 yang menjadi dasar
kewenangan presiden dalam hal mengangkat duta dan konsul serta menerima duta
dan konsul negara lain sedikit mengalami perubahan. Perubahan UUD 1945 dalam
hal ini mengangkat duta dan menerima duta dari negara lain, presiden diharuskan
memerhatikan pertimbangan presiden.
5.
Kekuasaan
Menyatakan Keadaan Bahaya
Berdasarkan pada Pasal 12 UUD 1945
yang tidak mengalami perubahan sama sekali, presiden memiliki kewenangan untuk
menyatakan keadaan bahaya. Pasal tersebut berbunyi, “Presiden menyatakan
keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan
undang-undang.”
Dengan merujuk pada ketentuan pasal
itu, maka presiden menyatakan Negara dalam keadaan bahaya tidak perlu meminta
persetujuan DPR terlebih dahulu. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus
diatur dalam undang-undang yang berarti memerlukan persetujuan DPR.
6.
Kekuasaan
Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Angkatan Bersenjata
“Presiden memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Demikian
bunyi Pasal 10 UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali.
Dari ketentuan tersebut, maka
kepolisian tidak termasuk sebagai angkatan perang atau bersenjata. Tetapi pada
era sebelum reformasi, angkatan kepolisian dinyatakan sebagai Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Namun setelah reformasi, ketentuan tersebut
telah mengalami perubahan setelah keluarnya Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000
tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
7.
Kekuasaan
Memberi Gelar dan Tanda Kehormatan Lainnya
Kekuasaan presiden dalam hal
memberikan gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan diatur dalam Pasal
15 UUD 1945. Sebelum perubahan , pasal tersebut berbunyi, ”Presiden memberi
gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.” Namun setelah perubahan,
pasal tersebut berbunyi menjadi ; “Presiden memberi gelar, tanda jasa dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur di dalam undang-undang.
Tanda jasa bintang diberikan kepada
seseorang yang berjasa luar biasa kepada bangsa dan negara. Sedangkan tanda
jasa “Batyalencana” diberikan kepada orang yang berjasa besar pada bangsa dan
negara. Sedangkan kepada daerah provinsi yang berhasil melaksanakan pembangunan
diberi tanda penghargaan “Prasamyapurnakaryanugraha”. Sementara itu, kepada
Kesatuan ABRI yang berprestasi besar memperoleh ‘Samkaryanugraha”.
8.
Kekuasaan
Membentuk Dewan Pertimbangan Presiden
Dewan Pertimbangan Presiden dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia termasuk baru. Lembaga ini diadakan sebagai
pengganti dari penghapusan Dewan Pertimbangan Agung pada perubahan keempat UUD
1945 pada Sidang Umum MPR tahun 2002. Sekarang Dewan Perwakilan Agung itu
tinggal kenangan, karena Pasal 16 UUD 1945 sudah tidak mengatur Dewan
Pertimbangan Agung kembali, melainkan mengatur mengenai Dewan Pertimbangan
Presiden. Selengkapnya pasal tersebut sekarang berbunyi; “Presiden membentuk
suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden, yamg selanjutnya diatur dalam undang-undang.
9.
Kekuasaan
Mengangkat dan Memberhentikan Menteri-menteri
Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada Pasal 17 Ayat 2 UUD 1945.
Sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan ini tidak diatur oleh suatu
perundang-undangan. Pelaksanaan kekuasaan tersebut diserahkan kepada presiden.
Setelah perubahan pertama dan ketiga, Pasal 17 mengalami sedikit perubahan.
Jika sebelum perubahan, presiden bebas melakukan pembentukkan, pengubahan, dan
pembubaran kementerian negara. Maka setelah perubahan hal tersebut tidak bisa
dilakukan dengan semerta-merta, karena semua itu diatur dengan undang-undang.
Itu artinya, presiden harus memerlukan persetujuan DPR untuk pembentukan,
pengubahan dan pembubaran kementerian negara. Tetapi dalam hal pengangkatan dan
pemberhentian menteri-menteri, presiden bebas melakukan kapan saja tanpa harus
meminta persetujuan dari lembaga negara lainnya.
10.
Kekuasaan
Mengangkat, Menetapkan atau Meresmikan Pejabat-pejabat Negara Lainnya.
Setelah perubahan UUD 1945, presiden
RI memiliki beberapan kekuasaan dalam hal pengangkatan, pemberhentian,
penetapan maupun peresmian pejabat-pejabat negara tertentu setelah perubahan
ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 yaitu ; pertama, memiliki kekuasaan utnuk
meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD.
Kedua, memiliki kekuasaan menetapkan
calon Hakim Agung yang telah disetujui oleh DPR. Ketiga, mempunyai kekuasaan
untuk mengangkat dan memberhentikan anggota komisi yudisial dengan persetujuan
DPR. Keempat, mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan 3 hakim konstitusi dan
menetapkan 9 hakim konstitusi yang diusulkan masing-masing 3 dari Mahkamah
Agung, 3 dari DPR, dan 3 dari Presiden sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sebelum
perubahan UUD RI 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah berganti
konstitusi mulai dari UUD 1945, UUD RIS
1949, UUD Sementara 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit presiden
pada tanggal 5 Juli 1959. Perubahan tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga
kepresidenan maupun kekuasaan presiden.
2.
Undang-undang
Dasar 1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden
RI pada waktu itu. Besarnya kekuasaan tersebut dalam praktiknya ternyata
disalahgunakan sehingga memunculkan pemerintahan yang otoriter, sentralistis, tertutup
dan penuh KKN (korupsi. kolusi dan nepotisme), baik pada masa Presiden Soekarno
maupun pada masa Presiden Soeharto. Kenyataan itulah yang kemudian memunculkan
banyak tuntutan agar UUD 1945 dilakukan perubahan. Kekuasaan Presiden setelah
perubahan UUD 1945 antara lain, yaitu :
1)
Kekuasaan
Penyelenggaraan Negara
2)
Kekuasaan
di Bidang Peraturan Perundang-undangan
3)
Kekuasaan
di Bidang Yudisial
4)
Kekuasaan
dalam Hubungan dengan Luar Negeri
5)
Kekuasaan
Menyatakan Keadaan Bahaya
6)
Kekuasaan
Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Angkatan Bersenjata
7)
Kekuasaan
Memberi Gelar dan Tanda Kehormatan Lainnya
8)
Kekuasaan
Membentuk Dewan Pertimbangan Presiden
9)
Kekuasaan
Mengangkat dan Memberhentikan Menteri-menteri
10)
Kekuasaan
Mengangkat, Menetapkan dan Meresmikan Pejabat-pejabat Negara Lainnya
B. Saran
Dengan adanya makalah ini saya mengharapkan kepada
pembaca agar tahu dan mengerti tentang kekuasaan presiden yang sebenarnya.
Selain itu dapat menambah pengetahuan kita tentang sistem lembaga kepresidenan
kita saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ghoffar, Abdul . 2009 . Perbandingan Kekuasaan Presiden Setelah Perubahan UUD 1945 dengan
Delapan Negara Maju . Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Mahfud MD,Moh. 2001 . Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia . Jakarta : Rineka
Cipta.
Anonim. 2011. Kekuasaan Presiden Republik Indonesia . http://birokrasikomplek.blog
spot.com/2011/06/kekuasaan-presiden-republik-indonesia.html . Tanggal akses 10
Mei 2013.
Anonim. 2012.
Kekuasaan Presiden RI Sebelum Amandemen UUD 1945 . http://seruanka
sih.wordpress.com/2012/ 07/29/kekuasaan-
presiden-ri-sebelum-amandemen-uud-1945-tugas-mata-kuliah-sistem-politik-indonesia/ . Tanggal akses 10
Mei 2013 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar